Suasana di tempat latihan Ipswich Town di Playford Road sama sekali tidak mencerminkan posisi klub yang terancam degradasi. Pelatih Kieran McKenna tetap setia pada filosofi permainan modernnya yang diminati klub-klub besar, sementara para pemain tampak tetap bersemangat.
Meski terpuruk di dasar klasemen, ada kesan bahwa mereka telah memberikan segalanya—mulai dari promosi berturut-turut dari Liga Satu hingga upaya bertahan di Liga Premier yang patut diacungi jempol. Namun, pencapaian itu justru memunculkan pertanyaan filosofis yang lebih besar: Seberapa besar usaha yang cukup bagi klub seperti Ipswich? Kapan waktu yang tepat untuk menyerah?
Degradasi Cepat: Tren yang Mengkhawatirkan
Akhir pekan ini kemungkinan akan menjadi momen tercepat dalam sejarah Liga Premier di mana tiga tim degradasi sudah dipastikan. Namun, musim ini juga mencatat rekor buruk lainnya: untuk kedua kalinya berturut-turut, ketiga klub promosi—Ipswich Town, Leicester City, dan Southampton—langsung terdegradasi.
Dengan rata-rata hanya meraih 0,5 poin per pertandingan, ini menjadi catatan terburuk bagi tim promosi sekaligus tim yang terdegradasi. Southampton bahkan terancam memecahkan rekor buruk Derby County (11 poin, 2007/08), sementara Sheffield United musim lalu hanya mengumpulkan 16 poin.
Sejak 2020, 10 dari 15 klub promosi langsung kembali ke Championship, sebuah tren yang kontras dengan periode 2010-2015 di mana hanya lima klub yang mengalami nasib serupa.
BACA JUGA: Kontroversi di Dagenham & Redbridge, Klub Minta Maaf
Penyebab: Kesenjangan Finansial dan Dampak Pandemi
Tahun 2020 menjadi titik balik. Pandemi Covid-19 memperlebar jurang antara Liga Premier dan EFL, dengan pendapatan siaran yang melonjak membuat klub-klub papan atas semakin tak terjangkau.
Uang siaran Liga Premier melonjak dari £11 juta (1992) menjadi £3,3 miliar hari ini, sementara pembayaran parasut bagi klub yang terdegradasi semakin memperbesar ketimpangan. Klub seperti Crystal Palace dan West Ham, yang dulu berjuang untuk bertahan, kini mapan berkat pendapatan televisi yang stabil sejak 2013.
Di sisi lain, klub promosi kesulitan bersaing. Southampton, misalnya, merasa jauh lebih sulit bertahan dibandingkan promosi sebelumnya. Luton Town nyaris tanpa harapan, sementara Sheffield United terdegradasi untuk ketiga kalinya.
Championship: Kompetisi yang Semakin Tidak Seimbang
Efeknya juga terasa di Championship. Klub dengan pembayaran parasut—seperti Leeds United (£19 juta untuk agen)—memiliki keunggulan finansial besar dibanding rivalnya.
Liga Premier sendiri ingin menghapus pembayaran parasut, tetapi klub-klub mapan enggan melepas keuntungan itu. Argumen hukum juga muncul: apakah parasut justru membatasi persaingan dengan memonopoli akses ke pendapatan siaran?
Harapan di Tengah Tantangan
Meski tren ini suram, ada sedikit cahaya. Brentford (2021/22), Fulham, Bournemouth, dan Nottingham Forest (2022/23) berhasil bertahan berkat manajemen cerdas di bursa transfer.
Namun, bagi Ipswich dan klub promosi lainnya, suasana positif mungkin tak bertahan lama. Jika degradasi terjadi, mereka akan pulang dengan kepala tegak—tapi pertanyaan besar tentang masa depan kompetisi tetap menggantung.
Perdebatan ini tidak akan mereda. Justru, ia akan semakin panas seiring waktu—khususnya ketika regulator sepak bola independen mulai membahas redistribusi pendapatan dan masa depan sepak bola Inggris.