Lima menit lagi, Tottenham unggul 2-0 atas Paris St-Germain, sang juara Eropa, Piala Super hampir berpindah ke London utara—hingga segalanya berubah. Kebangkitan dramatis PSG memaksa pertandingan ke adu penalti, dan Spurs gagal mengikuti jejak Sevilla, tim terakhir pemenang Liga Europa yang menjuarai Piala Super pada 2018.
Meski kalah, jejak tangan Thomas Frank sudah terlihat jelas. Selama 85 menit, Tottenham tampil meyakinkan. Bola mati yang rapi, pendekatan pragmatis, dan efisiensi menjadi ciri khas permainan mereka.
“Kami bermain sangat baik melawan salah satu tim terbaik dunia—bahkan mungkin yang terbaik saat ini,” ujar Frank, yang mengambil alih kursi kepelatihan Spurs musim panas ini. “Kami mengendalikan mereka selama 80 menit. Momentum berubah setelah gol 2-1, tapi tim dan fans punya banyak hal untuk dibanggakan. Babak pertama hampir sempurna, dan bola mati kami sangat berbahaya. Ini bukti bahwa kami bisa bersaing dengan siapa pun.”
Namun, pekerjaan masih menumpuk. Keruntuhan di akhir laga menunjukkan Tottenham belum sepenuhnya siap menghadapi tekanan. Frank harus waspada, terutama karena timnya langsung terlihat goyah begitu PSG meningkatkan intensitas—padahal, mereka baru menjalani dua sesi latihan pramusim.
Meski begitu, dalam kekalahan ini, ada secercah harapan. Sistem 3-5-2 yang diusung Frank berbeda dari taktik musim lalu, tetapi ia terlihat fleksibel—sebuah kritik yang sering dialamatkan pada pendahulunya, Ange Postecoglou.
BACA JUGA: HIGHLIGHT COMMUNITY SHIELD 2025 CRYSTAL PALACE VS LIVERPOOL