Liga Brasil dikejutkan oleh pemecatan kontroversial pelatih Botafogo, Renato Paiva, hanya sembilan bulan setelah ditunjuk. Alasan di balik keputusan ini lebih rumit dari sekadar hasil pertandingan – ini tentang benturan filosofi antara kemandirian pelatih dan intervensi pemilik klub.
“Saya terkejut, dan staf serta pemain sangat terkejut dengan keputusan itu,” ungkap Paiva yang masih belum memahami sepenuhnya alasan pemecatannya. Padahal, ia baru saja mencatatkan prestasi gemilang dengan mengalahkan PSG di Piala Dunia Antarklub.
Menurut laporan Globo, titik kritis terjadi ketika Paiva menolak saran taktis dari John Textor, pemilik klub yang juga pengendali Crystal Palace dan Lyon. Keputusan Paiva memainkan tiga gelandang bertahan melawan Palmeiras – yang berujung kekalahan 1-0 – dianggap sebagai pembangkangan terhadap otoritas Textor.
Botafogo dalam pernyataan resminya berterima kasih pada Paiva atas “kemenangan bersejarah melawan PSG” dan lolos ke babak 16 besar Copa Libertadores dan Copa do Brasil. Namun nyatanya, prestasi ini tidak cukup menyelamatkan posisinya.
BACA JUGA: Greg Taylor Memulai Petualangan Baru di Yunani Bersama PAOK
Textor dan Ambisi Multi-Klub yang Terhambat
Textor sendiri sedang menghadapi masalah kompleks di jagat sepak bola Eropa. Ia harus melepas sahamnya di Crystal Palace karena aturan multi-kepemilikan UEFA, sekaligus mengundurkan diri dari Lyon. Kini, Botafogo menjadi fokus utama bisnis sepak bolanya.
Klub Brasil itu menyatakan sedang mencari pelatih baru yang mau “melanjutkan jalur menuju gelar” – frasa yang mungkin berarti kesediaan bekerja sama dengan visi pemilik. Sementara Paiva memilih diam: “Saya tidak ingin bicara saat ini, nanti ada waktu untuk itu.”
Kasus ini memantik pertanyaan besar: Sejauh mana seharusnya pemilik klub ikut campur dalam keputusan teknis? Di era sepak bola modern yang semakin komersial, Botafogo mungkin bukan yang terakhir mengalami drama semacam ini.
