Pertemuan pertama di final Grand Slam antara Carlos Alcaraz dan Jannik Sinner, dua raket terhebat saat ini, telah memenuhi segala ekspektasi.
Namun, tak seorang pun bisa membayangkan bahwa duel ini akan berlangsung selama lima jam 29 menit, penuh dengan ketegangan dan keajaiban.
Di atas tanah liat Roland Garros, Carlos Alcaraz menunjukkan kegigihan luar biasa dengan bangkit dari dua set tertinggal—serta menyelamatkan tiga match point—sebelum akhirnya menundukkan Sinner dalam tie-break set kelima yang mencekam.
Kemenangan ini menjadikan Carlos Alcaraz sebagai pemain ketiga dalam sejarah era Terbuka (sejak 1968) yang berhasil memenangkan final Grand Slam setelah menghadapi championship point.
Di usia 22 tahun, Alcaraz telah mengoleksi lima gelar mayor, sementara Sinner (23) sebagai pemain nomor satu dunia turut meramaikan persaingan dengan membagi enam gelar Grand Slam terakhir di antara mereka.
Final legendaris yang berlangsung pada Minggu itu memecahkan rekor sebagai final Prancis Terbuka terlama sepanjang sejarah. Lebih dari itu, ini adalah final Grand Slam putra pertama yang mempertemukan dua petenis kelahiran tahun 2000-an.
Jika sebelumnya masih ada keraguan, kini jelas: era baru tenis putra telah tiba.
Selama lebih dari 20 tahun, tenis pria didominasi oleh Novak Djokovic, Rafael Nadal, dan Roger Federer. Namun, dengan Djokovic—satu-satunya dari “Big Three” yang masih aktif—mengalami kekalahan dari Sinner di semifinal, tanda-tanda peralihan kekuasaan semakin nyata.
Ketika Alcaraz dan Sinner memukau penonton di Paris, pertanyaan tentang siapa yang akan mengambil alih tahta tenis dunia pun terjawab.
Mats Wilander, juara tujuh kali Grand Slam dan pemegang rekor final Roland Garros terlama sebelumnya (1982), berkomentar di TNT Sports: “Federer dan Nadal pernah memainkan final yang hebat, tapi tidak ada yang seperti ini.”
“Mereka bermain dengan kecepatan yang tidak masuk akal. Keduanya adalah atlet terbaik yang pernah ada, dan kebetulan mereka adalah petenis. Hari ini benar-benar luar biasa,” tambahnya.
FINAL BESAR
Ini adalah final besar pertama antara dua rival yang telah mendominasi ATP Tour belakangan ini.
Sinner, yang sempat menjalani skorsing doping selama tiga bulan awal tahun ini, menunjukkan performa konsisten dengan hanya kalah 10 kali dari 121 pertandingan sejak September 2023.
Namun, separuh dari kekalahan itu justru datang dari Alcaraz. Faktanya, Sinner hanya tiga kali kalah dalam 50 pertandingan terakhir—semuanya dari tangan petenis Spanyol tersebut.
“Setiap rivalitas itu unik,” ujar Sinner. “Dulu, permainan tenis sangat berbeda. Sekarang, aspek fisik jauh lebih menonjol, tapi kita tidak bisa membandingkannya.”
“Saya beruntung pernah bermain melawan Novak dan Rafa. Mengalahkan mereka butuh segalanya. Sekarang, perasaan yang sama muncul saat berhadapan dengan Carlos. Ini sesuatu yang spesial.”
BACA JUGA: Sumatera Utara Siapkan 3 Lokasi TC Timnas Indonesia U-17
UNGGUL HEAD-TO-HEAD
Alcaraz, yang akan mempertahankan gelar Wimbledon dalam tiga minggu, kini unggul 8-4 dalam rekor head-to-head melawan Sinner.
Dengan menjadi pemain pertama di era Terbuka yang memenangkan lima final Grand Slam pertamanya, Alcaraz menghentikan tren kemenangan Sinner di final mayor sekaligus upayanya meraih gelar ketiga berturut-turut.
“Setiap kali kami bertemu, level permainan kami selalu naik ke titik tertinggi,” kata Alcaraz. “Jika ingin juara Grand Slam, Anda harus mengalahkan yang terbaik.”
Dengan tujuh dari delapan gelar Grand Slam terakhir diraih oleh Alcaraz dan Sinner—ditambah gelar ke-24 Djokovic di AS Terbuka 2023—pertanyaannya kini adalah: adakah yang bisa mengganggu dominasi mereka?
MENIRU NADAL
Alcaraz meniru idolanya, Nadal, dengan meraih gelar kelimanya di usia yang sama: 22 tahun, satu bulan, dan tiga hari. Sementara Sinner menjadi pemain termuda sejak Pete Sampras (1994) yang mencapai tiga final Grand Slam beruntun.
Statistik ini membuktikan bahwa keduanya tengah menapaki jalan menuju kejayaan.
Lantas, ke mana arah rivalitas mereka selanjutnya?
Masing-masing memiliki gelar Grand Slam untuk dipertahankan: Alcaraz di Wimbledon dan Sinner di AS Terbuka.
Meski Alcaraz memimpin 20-19 dalam jumlah gelar karier, selisih poinnya dengan Sinner di puncak ranking dunia kini hanya 2.030. Namun, sang juara Wimbledon harus mempertahankan 2.000 poin, sementara Sinner hanya perlu mempertahankan 400 poin setelah tersingkir di perempat final tahun lalu.
“Saya yakin dia akan belajar dari kekalahan ini dan kembali lebih kuat,” ujar Alcaraz. “Saya juga harus terus berkembang agar bisa bersaing. Tidak mungkin saya selalu mengalahkannya—itu mustahil.”