Luciano Spalletti tidak menyembunyikan kenyataan pahit yang dihadapi timnas Italia. Kekalahan telak 0-3 dari Norwegia dalam laga pembuka kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan sekadar hasil buruk—ini adalah tamparan keras bagi tim yang gagal lolos ke dua Piala Dunia terakhir.
Dua gol cepat dari Alexander Sorloth dan Antonio Nusa, disusul oleh sundulan Erling Haaland di babak pertama, mengubur harapan Italia sejak dini. Oslo menjadi saksi betapa rapuhnya Azzurri saat ini.
“Saya adalah ketua grup ini, ini adalah skuad yang saya pilih dan karenanya saya akan terus bersama mereka,” tegas Spalletti kepada RAI Sport, mencoba mengambil tanggung jawab penuh.
Tapi pertanyaannya: bisakah dia membalikkan keadaan?
Peringkat keempat Grup I—dengan dua pertandingan tertunda—bukanlah posisi yang bisa dibanggakan. Norwegia memimpin dengan sempurna (9 poin), sementara Israel dan Estonia bahkan berada di atas Italia.
Gianluigi Donnarumma, kapten sekaligus benteng pertahanan, terdengar frustrasi.
“Pendukung kami tidak pantas menghadapi pertandingan seperti ini,” ujar kiper PSG itu. “Kami perlu melakukan introspeksi. Ini tidak dapat diterima.”
Kekalahan ini bukan sekadar masalah taktis. Ini tentang mentalitas, tentang kepercayaan diri yang hilang, tentang tim yang seolah tak punya jawaban saat dihantam tekanan.
Spalletti sendiri mengakui situasi sulit ini.
“Selalu ada kekhawatiran, karena setelah penampilan seperti itu, Anda jelas harus bertanya pada diri sendiri dan menyadari adanya masalah,” katanya kepada Sky Sport Italia.
Lawan berikutnya, Moldova, seharusnya menjadi obat penenang. Tapi setelah performa buruk di Oslo, tidak ada yang bisa dianggap mudah.
Jika Italia gagal bangkit, kegagalan lolos ke Piala Dunia ketiga kalinya secara beruntun bukan lagi mimpi buruk—melainkan kenyataan yang harus diterima.
Spalletti punya pekerjaan rumah besar. Dan waktu tidak berpihak padanya.
