Suara lantang “permainan adalah tentang kejayaan” masih bergema di setiap sudut Stadion Tottenham Hotspur. Hal itu mengingatkan semua orang akan warisan Danny Blanchflower, sang kapten legendaris yang membawa Tottenham Hotspur meraih gelar ganda pada 1961. Kata-kata itu seharusnya menjadi jiwa klub, namun kini terasa seperti sekadar nostalgia yang jauh dari kenyataan.
Ange Postecoglou, sang arsitek di balik kesuksesan Spurs meraih trofi Eropa pertama mereka dalam 17 tahun lewat kemenangan di Liga Europa, justru menemukan dirinya dikorbankan. Ironisnya, ia dipecat tepat setelah memenuhi janjinya: membawa kejayaan kembali ke Tottenham.
Dalam pernyataan resmi pemecatannya, klub dengan dingin menyatakan: “Meskipun memenangkan Liga Europa musim ini merupakan salah satu momen terhebat klub, kami tidak dapat mendasarkan keputusan kami pada emosi yang terkait dengan kemenangan ini.”
Pernyataan itu seperti tamparan bagi semangat sepak bola itu sendiri. Kejayaan, ternyata, bukanlah mata uang utama di Tottenham di bawah kepemimpinan Daniel Levy. Padahal, satu-satunya trofi yang diraih Spurs selama era Levy sebelum kedatangan Postecoglou hanyalah Piala Liga 2008.
Postecoglou, dengan kepala tegak, menyatakan kebanggaannya: “Kesempatan untuk memimpin salah satu klub sepak bola bersejarah di Inggris dan membawa kembali kejayaan yang layak diterimanya akan selalu saya ingat seumur hidup.”
Momen puncaknya adalah kemenangan epik atas Manchester United di Bilbao—sebuah pertunjukan taktis yang sempurna. Namun, musim Liga Premier yang buruk, dengan finis di posisi ke-17, menjadi alasan utama kepergiannya. Padahal, ia telah menorehkan namanya sebagai salah satu dari hanya tiga manajer Spurs yang berhasil memenangkan trofi Eropa, setelah Bill Nicholson dan Keith Burkinshaw.
BACA JUGA: Beckham Putra Resmi Perpanjang Kontrak dengan Persib
SETUJU
Beberapa pendukung mungkin setuju dengan keputusan ini, tetapi banyak yang percaya Postecoglou layak mendapatkan musim ketiga—kesempatan untuk membangun fondasi dari euforia yang tercipta di Bilbao dan jalanan Tottenham saat pesta kemenangan.
Inilah paradoks sepak bola modern: memenangkan trofi justru berujung pada pemecatan. Bandingkan dengan Manchester United yang mempertahankan Erik ten Hag setelah Piala FA, hanya untuk memecatnya beberapa bulan kemudian. Namun, setidaknya United masih memiliki sejarah kemenangan. Spurs? Hampir tidak ada—sampai Postecoglou datang.
Alan Shearer dengan tepat merangkum kegilaan ini di media sosial: “Betapa bodohnya permainan sepak bola!”
Sementara Chris Sutton, dengan nada sinis, menambahkan: “Sepertinya finis di posisi keempat Liga Premier lebih penting daripada trofi. Apakah mereka ingin menjadi Arsenal era akhir Wenger?”
Levy sendiri yang berteriak penuh euforia di Bilbao: “Kita juara! Kalian semua telah tercatat dalam sejarah.” Tapi kini, sejarah itu tak cukup untuk menyelamatkan pekerjaan Postecoglou.
Keputusan Levy ini meninggalkan pertanyaan besar: apakah Spurs benar-benar ingin kembali ke puncak, atau sekadar menjadi klub yang puas dengan status quo? Postecoglou membawa kejayaan, tapi bagi Levy, rupanya itu belum cukup.
Kini, tekanan beralih ke Levy. Ia telah memecat manajer-manajer yang gagal membawa trofi, dan kini juga memecat yang berhasil. Di mana logikanya? Mungkin hanya Levy yang tahu.