Suasana ruang konferensi pers terasa tegang setelah Tottenham kalah 1-0 dari Arsenal pada September lalu, namun Ange Postecoglou tetap teguh dengan keyakinannya.
“Saya selalu menang di tahun kedua saya. Tidak ada yang berubah. Saya tidak mengatakan sesuatu kecuali saya mempercayainya,” ujar Ange Postecoglou.
Pernyataan tersebut terus digaungkannya sepanjang musim, dan kini ia berada di ambang membuktikannya.
Tottenham sempat menunjukkan tanda-tanda kebangkitan di Piala Carabao dengan unggul 1-0 atas Liverpool di leg pertama semifinal. Namun, harapan itu pupus setelah mereka dibantai 4-0 di Anfield.
Kegagalan juga terjadi di Piala FA, di mana Spurs tersingkir di putaran keempat oleh Aston Villa. Di Liga Premier, performa mereka bahkan lebih memprihatinkan—terjerembap di posisi ke-17 dengan selisih 45 poin dari juara Liverpool.
Namun, Postecoglou masih punya satu kesempatan emas untuk mengubah narasi: final Liga Europa melawan Manchester United di Bilbao.
Pertandingan di Bilbao bukan sekadar final biasa. Bagi Postecoglou, ini adalah pertandingan ke-100nya sebagai manajer Tottenham—sekaligus ujian terberat untuk mempertahankan reputasinya sebagai “spesialis tahun kedua.”
Kemenangan akan membawa Spurs ke Liga Champions, mematahkan kritik, dan mungkin menyelamatkan posisinya di klub. Kekalahan, di sisi lain, bisa menjadi akhir dari petualangannya di London Utara.
BACA JUGA: Mohamed Salah di Ambang Sejarah: Rekor dan Prestasi yang Masih Tertunda
Rekor yang Tak Terbantahkan
Postecoglou bukan sekadar omong kosong ketika berbicara tentang kesuksesan di tahun kedua. Sejarah membuktikannya:
- Australia: Juara liga dengan South Melbourne dan Brisbane Roar di tahun keduanya.
- Jepang: Membawa Yokohama F. Marinos meraih gelar J-League di musim penuh keduanya.
- Timnas Australia: Juara Piala Asia dua tahun setelah ditunjuk sebagai pelatih.
- Celtic: Dominasi di Skotlandia dengan dua gelar liga berturut-turut.
Satu-satunya pengecualian adalah saat ia menangani klub kecil seperti Panachaiki, Whittlesea Zebras, dan Melbourne Victory—di mana ia tidak menghabiskan dua musim penuh.
Final Liga Europa adalah ujian terbesar Postecoglou musim ini. Jika ia berhasil mempertahankan rekor “tahun kedua”-nya, namanya akan semakin dikenang sebagai pelatih yang mampu membawa kejutan di momen krusial.
Namun, jika gagal, kritik akan semakin menjadi-jadi—dan masa depannya di Tottenham mungkin akan dipertanyakan.
Satu hal yang pasti: Postecoglou tidak pernah takut dengan tekanan. Seperti katanya sendiri, “Saya tidak mengatakan sesuatu kecuali saya mempercayainya.”
Kini, tinggal menunggu apakah keyakinannya akan kembali terbukti di Bilbao.