Di hadapan pelatih kepala Rangers yang baru, terbentang sebuah awal yang cukup suram untuk sebuah nama besar. Ada rasa malu yang bertambah, pertahanan yang rentan, serangan ofensif yang tak menentu, serta para pemain sayap yang berlari tanpa arah jelas bagai lingkaran yang makin mengecil.
Kekalahan kembali terjadi. Penampilan tim tak hanya gagal menghasilkan gol atau poin, tetapi juga nyaris tak memberikan secercah harapan.
Jika di musim-musim sebelumnya Rangers masih mampu bersaing sengit dengan klub-klub seperti Athletic Club, Benfica, RB Leipzig, dan Borussia Dortmund, kini mereka justru takluk di tangan Brann—tim peringkat ketiga Norwegia. Penurunan standar ini terasa begitu tajam. Bukan sekadar soal kemampuan teknis yang kurang, melainkan juga karakter dan nyali untuk bertaruh yang tampak hilang. Sebuah pertanyaan reflektif untuk Danny Rohl: benarkah Anda sungguh menyadari apa yang sedang Anda hadapi di sini?
Sebelum Brann mencetak gol pertama dengan mudah, disusul gol kedua yang tak kalah gamblang, dan akhirnya gol ketiga yang mengubah debut Rohl menjadi sebuah pemandangan memilukan, ada satu momen yang pasti membuat sang pelatih baru merinding—momen pertama dari sekian banyak momen yang bakal mengusik pikirannya.
Rohl menekankan permainan cepat dan intens, dengan pressing agresif dan pergerakan tanpa henti. Ia melihat semua itu terjadi di lapangan—sayangnya, bukan dari para pemainnya sendiri.
BACA JUGA: Sean Dyche Bawa Kemenangan Pertama di Laga Debutnya Bersama Forest


