Serial dokumenter “Premier Passions” yang mengisahkan perjalanan Sunderland di musim 1996-97 kembali menarik perhatian. Hal itu tak lepas seiring kembalinya klub tersebut ke Liga Premier. Meski berhasil mengabadikan transformasi sepak bola Inggris di era tersebut, kisah itu berakhir dengan kepahitan.
Pelatih Peter Reid mengamuk di ruang ganti saat timnya tertinggal dua gol dari Wimbledon. “Pria melawan anak laki-laki,” hardiknya, “Di mana-mana di lapangan. Lemah.” Reid kemudian meninggalkan ruangan dengan marah setelah memerintahkan para pemain untuk “melanjutkan”.
Kini, Reid merefleksikan momen itu dengan lebih bijak. “Sesekali kita harus melibatkan pemain,” ujarnya, “Tapi kalau dilakukan setiap minggu, itu tidak akan berhasil. Saya tidak sebodoh itu.” Ia mengakui metode tersebut tak lagi relevan di era modern, “Meskipun kelihatannya cukup brutal, saya tetap menertawakannya bersama para lelaki itu ketika saya melihat mereka. Kurasa itu tidak bisa diterima sekarang.”
BACA JUGA: Lamine Yamal Harus Absen di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Akibat Cedera
Momen Bersejarah
Dokumenter yang tayang pada 1998 ini juga mengabadikan momen bersejarah perpindahan Sunderland dari Roker Park setelah hampir seabad. Lesley Callaghan, kepala humas klub saat itu, mengungkapkan pihaknya melihat proyek dokumentasi ini sebagai peluang mengabadikan momen transformasi klub. “Rasanya ada sesuatu yang penting terjadi seiring perkembangan Liga Primer, kesepakatan TV, dan pembangunan stadion baru setelah laporan Taylor [mengenai tragedi Hillsborough].”
Sir Bob Murray, yang saat itu menjabat ketua, menambahkan bahwa periode itu menandai “awal yang baru” bagi klub. Dengan latar belakang pembangunan Stadium of Light di bekas lahan tambang, ia menjelaskan kondisi sulit saat itu: “Kami hanya menghasilkan sekitar £4 juta dan terus merugi. Tidak ada tempat latihan. Klub itu sudah selesai sebagai sebuah operasi.”
John Alexander, sutradara asal Peterlee yang memimpin produksi, mengungkapkan pendekatannya yang berfokus pada konteks sosial. “Ini tentang tempat, para penggemar, dan segalanya,” tegasnya. Reid pun mengakui kekhawatiran awalnya terhapus oleh profesionalisme kru: “Mereka jadi tahu kapan harus datang menemui saya dan kapan tidak,” tuturnya disertai tawa.